Rabu, 23 Maret 2011

latar belakang bk di sekolah


A. Latar belakang sosio-kultural
Perkembangan zaman (globalisasi) menimbulkan perubahan dan kemajuan dalam masyarakat. Aspek perubahan meliputi: sosial, politik, ekonomi, industri, informasi dsb. Akibatnya ialah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh individu, misalnya,
pengangguran, syarat-syarat pekerjaan, penyesuaian diri, jenis dan kesempatan pendidikan, perencanaan dan pemilihan pendidikan, masalah hubungan sosial, masalah keluarga, keuangan, masalah pribadi, dsb. Walaupun pada umumnya masing-masing
individu berhasil mengatasi dengan sempurna, sebagian lain masih perlu mendapatkan
bantuan.

         Latar belakang sosio-kultural
Perkembangan zaman (globalisasi) menimbulkan perubahan dan kemajuan dalam masyarakat.  Aspek perubahan meliputi: sosial, politik, ekonomi, industri, informasi dsb. ..\..\DOC\Dampak Globalisasi.doc Akibatnya ialah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh individu, misalnya, pengangguran, syarat-syarat pekerjaan, penyesuaian diri, jenis dan kesempatan pendidikan, perencanaan dan pemilihan pendidikan, masalah hubungan sosial, masalah keluarga, keuangan, masalah pribadi, dsb. Walaupun pada umumnya masing-masing individu berhasil mengatasi dengan sempurna, sebagian lain masih perlu mendapatkan bantuan.  
Tanggung jawab sekolah ialah membantu para siswa baik sbg pribadi maupun sbg calon anggota masyarakat, dengan mendidik dan menyiapkan siswa agar berhasil menyesuaikan diri di masyarakat dan mampu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
                        Program bimbingan dan konseling membantu berhasilnya program pendidikan pada umumnya  
         Latar belakang pedagogis
    Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Sedangkan tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan dalam GBHN adalah: “Untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.gbhn penddkn.pdf ..\..\DOC\uu sisdiknas 20 2003.doc Dan pengertian dan tujuan di atas, jelas bahwa yang menjadi tujuan inti dari pendidikan adalah perkembangan kepribadian secara optimal dan setiap anak didik sebagai pribadi. Dengan demikian setiap kegiatan proses pendidikan diarahkan kepada tercapainya pribadi-pribadi yang berkembang optimal sesuai dengan potensi masing-masing.
Untuk menuju tercapainya pribadi yang berkembang, maka kegiatan pendidikan hendaknya bersifat menyeluruh yang tidak hanya berupa kegiatan instruksional (pengajaran), akan tetapi meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara pribadi mendapat layanan sehingga akhirnya dapat berkembang secara optimal. Kegiatan pendidikan yang diinginkan seperti tersebut di atas, adalah kegiatan pendidikan yang ditandai dengan pengadministrasian yang baik, kurikulum beserta proses belajar mengajar yang memadai, dan layanan pribadi kepada anak didik melalui bimbingan.
    
     Dalam hubungan inilah bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam pendidikan, yaitu membantu setiap pribadi anak didik agar berkembang secara optimal. Dengan demikian maka hasil pendidikan sesungguhnya akan tercermin pada pribadi anak didik yang berkembang baik secara akademik, psikologis, maupun sosial.
         Kalau kita menyimak kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, masih terdapat kecenderungan bahwa pendidikan belum sepenuhnya dapat membantu perkembangan kepribadian anak didik secara optimal. Secara akademis masih nampak gejala bahwa anak didik belum mencapai prestasi belajar secara optimal. Hal ini nampak antara lain dalam gejala-gejala: putus sekolah, tinggal kelas, lambat belajar, berprestasi rendah, kekurang-percayaan masyarakat terhadap basil pendidikan, dan sebagainya. Secara psikologis masih banyak adanya gejala-gejala perkembangan kepribadian yang kurang matang, kurang percaya pada diri sendiri, kecemasan, putus asa, bersikap santai, kurang responsif, ketergantungan, pribadi yang tidak seimbang, dan sebagainya. Demikian juga secara sosial ada kecenderungan anak didik belum memiliki kemampuan penyesuaian sosial secara memadai.
         Secara psikologis masih banyak adanya gejala-gejala perkembangan kepribadian yang kurang matang, kurang percaya pada diri sendiri, kecemasan, putus asa, bersikap santai, kurang responsif, ketergantungan, pribadi yang tidak seimbang, dan sebagainya

Senin, 21 Maret 2011

teori pembangunan lewis

III. KERANGKA TEORI
3.1. Model Pembangunan Dua Sektor
Model pembangunan dua sektor pertama kali dikembangkan oleh W.A.
Lewis. Menurut Lewis, terdapat dikotomi dalam masyarakat di negara-negara terbelakang
yaitu adanya dua sektor yang hidup berdampingan, sektor capital
intensive (industri) dan sektor labor intensive (pertanian). Pada prinsipnya, model
pembangunan dua sektor ini menititkberatkan pada mekanisme transformasi
struktur ekonomi yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang (LDCs),
yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian
menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern yang didominasi oleh sektor-
sektor non primer, khususnya sektor industri dan jasa. Berkenaan dengan hal
ini, maka industrialisasi pertanian merupakan media transmisi yang tepat bagi
proses transformasi struktur ekonomi dari perekonomian subsisten ke perekonomian
modern.
Dalam teorinya, Lewis (1954) mengasumsikan bahwa perekonomian suatu
negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sektor: (1) sektor tradisional yaitu
sektor pertanian subsisten yang surplus tenaga kerja, dan (2) sektor industri perkotaan
modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi penampung
transfer tenaga kerja dari sektor tradisional. Pada sektor pertanian tradisional di
perdesaan, karena pertumbuhan penduduknya tiggi, maka terjadi kelebihan suplai
(over supply) tenaga kerja yang dapat ditransfer ke sektor industri. Asumsi dasar
teori ini adalah bahwa transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri
terjadi tanpa mengakibatkan penurunan output sektor pertanian. Hal ini berarti
72
produk marginal tenaga kerja di sektor pertanian adalah nol, dimana dengan
berkurangnya tenaga kerja, maka output sektor pertanian tidak akan berkurang.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka tingkat upah tenaga kerja di
sektor pertanian juga akan rendah. Hubungan antara jumlah tenaga kerja, tingkat
upah dan jumlah output di sektor pertanian dapat dijelaskan dengan formula sebagai
berikut:
( , ) d P P
D
P N F W Q− + = …………………………………….……………(3.1)
( ) s P
S
P N = F W …………………………………………………………(3.2)
P
S
P
D
P N = N = N …………………………………………………...…..(3.3)
( ) P qP P Q = F N ………………………………….………………….….(3.4)
Persamaan (3.1) adalah permintaan tenaga kerja ( D
P N ) yang merupakan
fungsi negatif dari tingkat upah ( P W ) dan fungsi positif dari jumlah output sektor
pertanian ( P Q ). Persamaan (3.2) adalah penawararan tenaga kerja ( S
P N ) yang
merupakan fungsi dari tingkat upah ( P W ). Persamaan (3.3) mencerminkan keseimbangan
di pasar tenaga kerja (labour market), yang menghasilkan suatu tingkat
upah dan jumlah tenaga kerja keseimbangan. Sedangkan persamaan (3.4)
adalah fungsi produksi di sektor pertanian ( P Q ) yang merupakan fungsi dari
jumlah tenaga kerja yang digunakan ( P N ). Nilai produk marjinal nol, artinya
fungsi produksi di sektor pertanian seperti yang digambarkan pada persamaan
(3.4) sudah berada pada skala kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing
return to scale), dimana setiap penambahan jumlah tenaga kerja justru
akan menurunkan jumlah output yang dihasilkan. Dalam kondisi demikian,
pengurangan jumlah tenaga kerja tidak akan menurunkan jumlah output di sektor
73
pertanian. Hal inilah yang akan mendorong tingkat upah tenaga kerja di sektor
pertanian menjadi sangat rendah. Di lain pihak, sektor industri di perkotaan yang
mengalami kekurangan tenaga kerja berada pada skala kenaikan hasil yang semakin
bertambah (increasing return to scale), dimana produk marjinal tenaga kerja
positif. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah tenaga kerja di sektor industri
relatif tinggi. Perbedaan tingkat upah tenaga kerja pada kedua sektor ini akan
menarik banyak tenaga kerja untuk berpindah (migrasi) dari sektor pertanian ke
sektor industri.
Karena persediaan tenaga kerja di sektor pertanian tidak terbatas, maka
sektor industri dapat berkembang dengan menarik tenaga kerja secara tidak
terbatas dari sektor pertanian. Tenaga kerja bersedia pindah ke sektor industri
karena mereka dapat menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan upah
subsisten di sektor pertanian. Produktivitas marginal tenaga kerja di sektor
industri lebih tinggi dari upah yang mereka terima, sehingga mengakibatkan terbentuknya
surplus sektor industri. Surplus sektor industri dari selisih upah ini
diinvestasikan kembali seluruhnya dan tingkat upah di sektor industri diasumsikan
konstan serta jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor
pertanian. Oleh karena itu, laju dari proses transfer tenaga kerja tersebut ditentukan
oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor
industri. Pada tingkat upah sektor industri yang konstan, kurva penawaran tenaga
kerja perdesaan dianggap elastis sempurna.
Sektor industri akan terus menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian
sampai pada titik dimana tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga
kerja sektor industri. Pada akhirnya rasio tenaga kerja-kapital (capital labor
74
ratio) naik dan penawaran tenaga kerja di sektor pertanian tidak lagi elastis
sempurna.
Karena dalam model Lewis diasumsikan bahwa surplus sektor industri
dari selisih upah diinvestasikan kembali seluruhnya, maka kurva produk marginal
tenaga kerja akan bergeser ke kanan. Proses ini dapat digambarkan sebagai pergeseran
kurva penawaran tenaga kerja atau produktivitas marginal ke kanan pada
sektor industri pada tingkat upah yang lebih tinggi daripada upah subsisten di
sektor pertanian, seperti disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Model Dua Sektor Lewis
Sumber: Jhingan (2000)
Pada Gambar 11, nampak bahwa pada penggunaan tenaga kerja ON1,
produktivitas marginal P1Q1, dan total output OP1Q1N1. Upah yang diterima
tenaga kerja OWQ1N1 dan surplus sektor industri adalah WP1Q1. Surplus sektor
industri memungkinkan penambahan tenaga kerja hingga ON4. Akibatnya
OX= jumlah tenaga kerja
OY= upah dan produk marginal
OW= upah sektor industri
OS= upah subsisten pertanian
WW= kurva penawaran TK
X
Y
Upah/Produk Marginal
P1
P2
P3
P4
Q1 Q2 Q3 Q4
W
S S
W
O N1 N2 N3 N4
Jumlah Tenaga kerja
Keterangan :
75
produktivitas marginal meningkat ke P4Q4, total output OP4Q4N4, upah OWQ4N4
dan surplus sektor industri sebesar WP4Q4.
Proses pertumbuhan seperti diuraikan di atas disebut sebagai pertumbuhan
berkesinambungan (self-sustaining growth) dari sektor industri dan perluasan
kesempatan tenaga kerja tersebut diasumsikan akan terus berlangsung sampai
semua surplus tenaga kerja perdesaan diserap habis oleh sektor industri. Tenaga
kerja tambahan yang berikutnya hanya dapat ditarik dari sektor pertanian tradisional
dengan biaya yang lebih tinggi. Dengan demikian ketika tingkat upah
dan penyerapan tenaga kerja di sektor industri terus mengalami pertumbuhan,
maka kemiringan kurva penawaran tenaga kerja berslope positif. Transformasi
struktur perekonomian akan terjadi dari perekonomian yang didominasi oleh
sektor pertanian yang tradisional ke perekonomian yang didominasi oleh sektor
industri yang modern.
Menurut Todaro (2000), model Lewis pada kenyataannya mengandung
beberapa kelemahan karena asumsi-asumsi yang digunakan, khususnya untuk
sebagian besar negara berkembang. Kelemahan pertama menyangkut reinvestasi
modal dimana model tersebut mengasumsikan bahwa tingkat pengalihan tenaga
kerja dan penciptaan kesempatan kerja di sektor industri sebanding dengan tingkat
akumulasi modal. Namun fenomena menunjukkan bahwa sebagian besar reinvestasi
justru dilakukan untuk mengembangkan industri dengan teknologi yang hemat
tenaga kerja. Dengan demikian penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian
akan berjalan lamban. Belum lagi adanya kenyataan bahwa akumulasi modal
tidak seluruhnya ditanamkan kembali di dalam negeri. Pelarian modal (capital
flight) ke luar negeri sering terjadi karena alasan faktor keamanan di dalam negeri.
Kelemahan kedua menyangkut asumsi surplus tenaga kerja yang terjadi di
76
perdesaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kelangkaan tenaga kerja pertanian di
perdesaan sudah mulai dirasakan, sementara pengangguran banyak terjadi di perkotaan.
Kelemahan ketiga menyangkut asumsi tentang pasar tenaga kerja yang
kompetitif di sektor industri, sehingga menjamin upah riil di perkotaan yang
konstan sampai pada suatu titik dimana surplus tenaga kerja habis terpakai. Pada
kenyataannya upah di pasar tenaga kerja sektor industri cenderung meningkat dari
waktu ke waktu, baik secara absolut maupun secara riil.
Dengan beberapa kelemahan tersebut di atas, maka konsep pembangunan
dengan berbasis pada perubahan struktural seperti dalam model Lewis memerlukan
beberapa penyempurnaan sesuai dengan fenomena ekonomi yang ada. Dalam
hal ini Fei dan Ranis (1964) memperbaiki kelemahan model Lewis dengan penekanan
pada masalah surplus tenaga kerja yang tidak terbatas dari model Lewis.
Penyempurnaan tersebut terutama pada pentahapan perubahan tenaga kerja.
Model Fei-Ranis membagi tahap perubahan transfer tenaga kerja dari sektor
pertanian ke sektor industri menjadi tiga tahap berdasarkan pada produktivitas
marjinal tenaga kerja dengan tingkat upah dianggap konstan dan ditetapkan secara
eksogenus. Tahap pertama, tenaga kerja diasumsikan melimpah sehingga produktivitas
marjinal tenaga kerja mendekati nol. Dalam hal ini surplus tenaga kerja
yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri memiliki kurva penawaran
elastis sempurna. Pada tahap ini walaupun terjadi transfer tenaga kerja, namun
total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja
meningkat dan sektor industri tumbuh karena tambahan tenaga kerja dari sektor
pertanian. Dengan demikian transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor
ekonomi.
77
Tahap kedua adalah kondisi dimana produk marginal tenaga kerja sudah
positip namun besarnya masih lebih kecil dari tingkat upah. Artinya setiap
pengurangan satu satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan total
produksi. Pada tahap ini transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor
industri memiliki biaya imbangan positip, sehingga kurva penawaran tenaga kerja
memiliki elastisitas positip. Transfer tenaga kerja terus terjadi yang mengakibatkan
penurunan produksi, namun penurunan tersebut masih lebih rendah dari
besarnya tingkat upah yang tidak jadi dibayarkan. Di sisi lain karena surplus
produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaan
meningkat, yang diakibatkan oleh adanya penambahan tenaga kerja, maka harga
relatif komoditas pertanian akan meningkat.
Tahap ketiga adalah tahap komersialisasi di kedua sektor ekonomi. Pada
tahap ini produk marginal tenaga kerja sudah lebih tinggi dari tingkat upah.
Pengusaha yang bergerak di sektor pertanian mulai mempertahankan tenaga
kerjanya. Transfer tenaga kerja masih akan terjadi jika inovasi teknologi di sektor
pertanian dapat meningkatkan produk marginal tenaga kerja. Sementara itu, karena
adanya asumsi pembentukan modal di sektor industri direinvestasi, maka
permintaan tenaga kerja di sektor ini juga akan terus meningkat.
Secara grafis, ketiga tahapan tersebut dapat digambarkan seperti yang
disajikan pada Gambar 12. Pada tahap pertama, tenaga kerja sektor pertanian
yang mempunyai produktivitas marjinal (Marginal Physical Productivity = MPP)
sama dengan nol dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang
sama. Pada Gambar 12 panel C ditunjukkan pada bagian horizontal dari kurva
Total Physical Productivity (TPP), yaitu CX produktivitas total tetap sehingga
produktivitas marginal tenaga kerja sebesar MN adalah nol. Pada panel B
78
ditunjukkan jumlah tenaga kerja sebesar NM dari kurva MPP (kurva NMRU) atau
bagian CX dari kurva TPP pada panel C, dipindahkan ke sektor industri seperti ditunjukkan
oleh OM pada panel A pada tingkat upah institusional yang sama yaitu
OW (=NM).
Gambar 12. Model Dua Sektor Fei-Ranis
Sumber: Jhingan (2000)
Upah/Output Marginal
Tenaga Kerja
Output Rata-rata
Output Total
(A)
(B)
(C)
P2
P1
P
W
T
H
Q
N L K O M
U
O
M L K N
W
A R
S
V
Tahap I Tahap II Tahap III
Tenaga Kerja
N O
M L K
F
D
B
G
E
C
X Y
OW= upah institusional
OCX= kurva TPP
NX/ON= upah rill/upah institusional
Pertanian
Pertanian
Industri
NMRU= kurva MPP
NW= upah institusional
WTHQ= kurva penawaran tenaga kerja
PT, P1H, P2H= kurva permintaan tenaga kerja
N
79
Pada tahap kedua, pekerja pertanian yang dapat memberikan sumbangan
untuk menambah ouput (MPP>0) tetapi memproduksi lebih kecil daripada upah
institusional, juga dialihkan ke sektor industri. Pada panel B ditunjukkan MPP
pekerja pertanian sebesar MK positif dalam garis MR pada kurva MPP (atau
NMRU) tetapi lebih rendah dari upah institusional KR (=NW). Dalam batas
tertentu mereka sebenarnya juga penganggur tersembunyi. Akan tetapi dengan
MPP positif, perpindahan tenaga kerja ini mengakibatkan menurunnya output
sektor pertanian. Harga produk pertanian meningkat relatif terhadap produk
industri, sehingga membutuhkan kenaikan upah minimal di sektor industri, di atas
upah institusional, OW. Upah naik ke LH dan KQ, penawaran tenaga kerja tidak
lagi perfect elasticity yang ditunjukkan oleh gerak naik kurva WT ke H dan Q,
pada saat tenaga kerja sebesar ML dan LK pindah sedikit demi sedikit ke sektor
industri (panel A).
Pada tahap ketiga, pekerja pertanian mulai menghasilkan ouput yang sama
dengan upah institusional dan akhirnya melampaui upah institusional. Hal ini
ditunjukkan oleh naiknya kurva RU dari kurva MPP pada panel (B) yang lebih
tinggi daripada upah institusional KR (=NW). Akibatnya tenaga kerja sebanyak
KO akan dialihkan dari sektor pertanian ke sektor industri pada upah nominal
yang meningkat melebihi KQ pada panel (A). Hal ini akan menyedot kelebihan
tenaga kerja di sektor pertanian yang telah bersifat komersial. Fei dan Ranis
menyebut batas tahap I dan II sebagai titik kelangkaan, sedangkan batas antara
tahap II dan III sebagai titik komersialisasi.
Peralihan tenaga kerja ke sektor industri mengakibatkan meningkatnya
produktivitas sektor pertanian sehingga terjadi surplus hasil-hasil pertanian.
80
Surplus ini dimaksudkan selisih antara total ouput yang dihasilkan tenaga kerja
dengan konsumsi yang diperlukan tenaga kerja pertanian itu sendiri. Surplus
tersebut ditunjukkan oleh jarak vertikal antara garis OX dan kurva produksi pisik
total OCX. Besarnya surplus pada setiap tahap perpindahan tenaga kerja adalah
NM (BC), ML (DE) dan LK (FG). Surplus ini dapat dianggap sebagai sumbersumber
pertanian yang dilepas ke pasar melalui pengalokasian kembali pekerja
pertanian. Sumber-sumber ini dapat disedot melalui kegiatan investasi para pemilik
tanah atau melalui kebijakan perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk
menunjang perkembangan sektor industri.
Model pembangunan dua sektor yang lain dikemukakan Chenery (1992)
yang pada dasarnya hampir sama dengan model Lewis, yaitu memfokuskan pada
perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi di LDCs yang
mengalami pergeseran dari sektor pertanian tradisional (subsisten) ke sektor
industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pergeseran tersebut terjadi
sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang membawa perubahan
dalam pola permintaan konsumen dari makanan dan barang-barang kebutuhan
pokok lain ke berbagai macam barang industri dan jasa, akumulasi kapital fisik
dan manusia (SDM), perkembangan industri-industri di perkotaan yang terjadi
bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan,
serta penurunan laju pertumbuhan penduduk dan ukuran keluarga (family size)
yang semakin kecil.
Perubahan struktur ekonomi yang sejalan dengan pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB), yang merupakan total nilai tambah (NT) dari semua sektor
perekonomian, dapat dilihat pada perubahan pangsa nilai tambah setiap sektor
81
dalam pembentukan PDB yang secara sederhana dapat dijelaskan dengan formula
sebagai berikut:
a i PDB = NT + NT ………………………………………………….....(3.5)
1 [ ( ) ( ) ] a i = b t + b t …………….........……………………………….….(3.6)
Pada persamaan (3.5), dimisalkan dalam suatu perekonomian hanya terdapat
dua sektor, yaitu sektor pertanian (agriculture) dan sektor industri, dengan
nilai tambah masing-masing sebesar a NT dan i NT yang membentuk PDB.
Sedangkan persamaan (3.6), menunjukkan pangsa masing-masing sektor dalam
pembentukan PDB yaitu sebesar a b(t) dan i b(t) , dimana t menunjukkan periode
waktu. Pada tahap awal pembangunan (t = 0), merupakan tahap sebelum dimulainya
proses industrialisasi, dimana a b(0) > i b(0) . Dalam proses pembangunan
akan terjadi transformasi ekonomi, dimana pangsa sektor pertanian dalam pembentukan
PDB menurun, sebaliknya pangsa sektor industri dalam pembentukan
PDB meningkat. Pada tahap akhir pembangunan ekonomi (t = 1), pangsa sektor
pertanian dalam pembentukan PDB lebih rendah dibandingkan dengan pangsa
sektor industri [ a b(1) < i b(1) ], dimana a b(1) < a b(0) dan i b(1) > i b(0) . Dalam
jangka panjang, perubahan pangsa masing-masing sektor dalam pembentukan
PDB mempunyai pola seperti yang disajikan pada Gambar 13.
Pada Gambar 13, nampak bahwa dalam proses perubahan struktur ekonomi,
pangsa sektor pertanian (primer) dalam sumbangannya dalam pembentukan
PDB semakin menurun dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan PDB.
Sebaliknya, pangsa sektor industri (sekunder) dan jasa (tersier) dalam sumbangannya
dalam pembentukan PDB menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat.
82
Pangsa Output
Sektoral terhadap
Pembentukan PDB
t=0 Tingkat pembangunan/ t=n
“rendah” pendapatan per kapita “tinggi”
Gambar 13. Perubahan Struktur Ekonomi
Sumber: Tambunan (2003, dimodifikasi).
3.2. Strategi Industrialisasi Pertanian
Terdapat beberapa strategi industrialisasi pertanian, baik secara konseptual
maupun secara empiris, pernah diterapkan di beberapa negara berkembang,
termasuk Indonesia. Pada prinsipnya strategi industrialisasi dapat digolongkan
menjadi dua kelompok. Pertama, strategi industrialisasi substitusi impor (importsubstitution
industrialization strategy) yang berorientasi ke dalam (inward
looking) dan pada pemenuhan pasar dalam negeri. Kedua, strategi industrialisasi
Tersier
Sekunder
Primer
Waktu (t)
83
yang berorientasi ekspor (export-led industrialization strategy) yang berorientasi
keluar (outward looking). Menurut Tambunan dan Priyanto (2005), pada tahun
1970-1985 Indonesia menerapkan strategi industrialisasi substitusi impor, kemudian
beralih ke strategi industrialisasi berdasarkan promosi ekspor pada tahun
1986 hingga sekarang.
3.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor
Penerapan strategi industrialisasi di negara-negara berkembang pada
umumnya dimulai dengan industri substitusi impor, terutama di Amerika Latin,
Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Strategi ini berorientasi pada penciptaan
output untuk memenuhi pasar di dalam negeri, karena pasar luar negeri
sudah dikuasai oleh negara-negara maju (Sahrial, 2005). Pelaksanaan strategi
industrialisasi substitusi impor didasarkan pada pemikiran bahwa laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengembangan industri di dalam
negeri yang memproduksi barang-barang pengganti (substitusi) impor (Arief,
1990).
Penerapan strategi substitusi impor didasarkan pada alasan bahwa secara
historis perdagangan berlangsung sebagai mekanisme ketimpangan internasional
yang merugikan negara berkembang dan menguntungkan negara maju. Ketimpangan
tersebut muncul karena semakin lebarnya nilai tukar perdagangan (term of
trade=TOT) antara komoditas pertanian dari negara-negara berkembang dan
komoditas industri dari negara-negara maju. Hal tersebut diatasi dengan membangun
industri substitusi impor yang diproteksi melalui fasilitas bea masuk terhadap
bahan-bahan mentah dan barang-barang modal. Sebagai alasan utama penerapan
strategi substitusi impor adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik
84
dalam jangka panjang dan menghemat devisa melalui penggantian barang-barang
impor dengan produksi dalam negeri (Susilowati, 2007).
Pembangunan industri substitusi impor melandaskan pada argumen
industri muda (infant–industry argument) dimana industri semacam ini dilakukan
hanya untuk kasus negara-negara yang baru berkembang dalam upaya mengatasi
keterbatasan mereka sampai dapat tumbuh bersaing secara efektif di pasar internasional
(Chacholiades, 1990). Secara grafis, infant-industry argument dapat dijelaskan
seperti yang disajikan pada Gambar 14.
Produk substitusi impor
L2
U2
P2
L1 C2
C1
U1
P1
0 V Produk lokal
Gambar 14. Argumen Industri Muda (The Infant–Industry Argument)
Sumber: Chacholiades (1990)
Pada Gambar 14, nampak bahwa pada kondisi awal Kurva Kemungkinan
Produksi (KKP) dinyatakan sebagai kurva UV dengan TOT dunia konstan pada
L1 P1, produksi berada di P1 dan konsumsi di C1. Dengan adanya proteksi dan
subsidi terhadap industri substitusi impor, maka KKP akan bergeser ke kanan ke
85
kurva U1V, akibatnya produksi meningkat ke P2 dan konsumsi ke C2 yang
menunjukkan terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Salah satu ciri strategi industrialisasi substitusi impor yang dilakukan di
negara-negara berkembang adalah bersifat padat modal, sehingga perannya dalam
penyerapan tenaga kerja sangat rendah. Hal ini sebagai konsekuensi dari adanya
distorsi dalam harga relatif faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga
kerja, yang timbul akibat kebijakan pemberian fasilitas bea masuk dan perlindungan
tarif terhadap faktor modal, sehingga membuat harga relatif faktor modal
menjadi lebih murah dari harga relatif tenaga kerja. Dengan demikian proses
pembangunan melalui strategi industrialisasi substitusi impor akan menghasilkan
peningkatan produk-produk industri yang bias ke arah padat modal.
Penerapan strategi industrialisasi substitusi impor di Indonesia dimulai
hampir bersamaan dengan adanya lonjakan harga minyak bumi (oil-boom) pada
tahun 1974. Strategi ini dimungkinkan oleh melimpahnya penerimaan devisa dari
kenaikan harga minyak bumi. Pilihan strategi industrialisasi substitusi impor ditandai
oleh pengembangan industri dasar besi dan baja, industri logam dasar
bukan besi, industri barang dari logam, industri pengilangan minyak bumi dan
industri semen. Pengembangan industri berat di bagian hulu yang disertai oleh
pengembangan industri barang konsumsi berteknologi tinggi di bagian hilir pada
periode berikutnya, seperti industri peralatan rumah tangga dan asembling
kendaraan bermotor yang tidak efisien, sehingga harus didukung oleh penerapan
kebijakan perdagangan luar negeri restriktif untuk memproteksi infant industry.
Namun demikian, pada saat harga minyak bumi anjlok pada tahun 1982 dan jatuh
86
pada tingkat yang sangat rendah pada tahun 1986, pemerintah melakukan reorientasi
pengembangan industri dari substitusi impor ke promosi ekspor.
3.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor
Sesuai dengan teori klasik perdagangan internasional, strategi industrialisasi
promosi ekspor melibatkan pembangunan sektor industri manufaktur sesuai
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan. Strategi ini
mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumberdaya ekonomi yang ada
mengikuti perubahan pola dari keunggulan komparatif. Orientasi keluar, yang
merupakan dasar dari strategi promosi ekspor, menghubungkan ekonomi domestik
dengan ekonomi dunia lewat promosi perdagangan. Oleh karena itu, banyak
negara yang menerapkan strategi promosi ekspor menghilangkan beberapa rintangan
terhadap ekspor (Tambunan, 2001).
Pertimbangan untuk menerapkan strategi promosi ekspor diantaranya
adalah strategi tersebut memungkinkan terciptanya arus modal internasional dan
jaringan pertukaran ketrampilan, teknologi dan manajemen. Strategi tersebut juga
akan menciptakan kesempatan kerja lebih besar dibandingkan dengan strategi
substitusi impor (Gillis et al., 1987; Azis, 1989). Di sisi lain mengalirnya arus
modal internasional ke negara-negara berkembang karena: (1) modal internasional
mencari daerah investasi di negara-negara dimana upah buruh masih murah, dan
(2) adanya teknologi pada proses produksi untuk barang-barang tertentu yang
memungkinkan pembagian kerja internasional (international division of labour) di
bawah suatu atap produksi (Arif, 1990). Oleh karena di negara berkembang nilai
tenaga kerja lebih rendah dibandingkan dengan di negara maju (pentransfer modal
dan teknologi), untuk mempertahankan daya saing maka teknologi tersebut
87
direalokasi ke negara berkembang. Strategi promosi ekspor dengan demikian
berada dalam lingkaran bisnis multinasional yang bersifat footlose industry
dengan model principle-agent, dimana principle-nya tetap berada di negara
penyedia teknologi sedangkan agent-nya di negara berkembang. Dengan demikian
pertimbangan realokasi industri tersebut bukan didorong oleh faktor bahan
baku, melainkan dengan pertimbangan terutama tenaga kerja murah dan tuntutan
lingkungan yang rendah (Susilowati, 2007).
Mekanisme strategi promosi ekspor adalah melalui kebijakan perdagangan
luar negeri yang netral, yang mengandung pengertian suatu liberalisasi perdagangan.
Pembatasan impor barang jadi yang dilakukan untuk merangsang perkembangan
industri substitusi impor dianggap suatu hal yang menimbulkan
distorsi alokasi sumber-sumber ekonomi, karena negara akan kehilangan peluang
untuk mengambil manfaat dari keunggulan komparatif (comparative advantage)
dari produksi yang dapat diekspor. Oleh karena itu inti dari kebijakan promosi
ekspor adalah untuk menaikkan ekspor dengan memberikan perangsang pada
sektor ekspor dan bersamaan dengan itu dilakukan liberalisasi impor untuk menghilangkan
distorsi dalam alokasi sumberdaya ekonomi. Kebijakan tersebut dapat
dikatakan merupakan kebijakan yang didasarkan pada pemikiran klasik atau neoklasik
yang berlandaskan pada konsep perdagangan bebas.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dasar teori yang digunakan untuk melakukan strategi promosi ekspor bagi negaranegara
pengekspor adalah mengambil manfaat dari keuntungan komparatif tenaga
kerja melalui perdagangan internasional. Menurut Gillis et al. (1987), teori keunggulan
komparatif memiliki implikasi bahwa negara akan mengekspor secara
88
intensif produk yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor
produk yang memerlukan faktor produksi yang relatif langka. Implikasi
teori keunggulan komparatif tersebut dapat dijelaskan melalui Gambar 15.
Barang impor (padat kapital)
TOT dunia
C
A
TOT sebelum perdagangan
B
D
0 Barang ekspor (padat tenaga kerja)
Gambar 15. Keuntungan Perdagangan melalui Konsep Keunggulan
Komparatif
Sumber: Gillis et al. (1987)
Sebelum melakukan perdagangan, suatu negara (yang diasumsikan memiliki
kelimpahan sumberdaya tenaga kerja) memperoleh utilitas terbesar dengan
memproduksi dan mengkonsumsi di titik A. Slope pada titik A tersebut menunjukkan
term of trade (TOT) produk yang intensif tenaga kerja relatif terhadap
produk yang intensif kapital. Jika di negara lain memiliki sumberdaya kapital
yang lebih baik dibandingkan sumberdaya tenaga kerja, maka TOT produk yang
intensif tenaga kerja akan lebih tinggi dibandingkan produk yang intensif modal.
Apabila yang diimpor adalah barang modal dan teknologi, maka setelah
perdagangan kemampuan produksi meningkat ke titik B dan selain itu dapat
89
mengkonsumsi kedua barang di titik C yang merupakan persinggungan antara
TOT dunia dengan kurva indiferen yang baru, yang lebih tinggi dibanding titik
semula di A. Negara akan dapat mengekspor sebesar BD dan mengimpor barang
modal dan kapital sebesar CD. Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif
berupa tenaga kerja dalam melakukan perdagangan, maka dapat dicapai pertumbuhan
produksi dan konsumsi yang lebih tinggi.
Menurut Klein (1971), terdapat dua macam sumber keunggulan komparatif
suatu negara dalam memproduksi suatu produk baru, yaitu: (1) keunggulan
komparatif dari faktor pengetahuan (learning factor) disebut sebagai keunggualan
dinamis, dan (2) keunggulan komparatif dalam proses produksi dengan memanfaatkan
tenaga kerja dan atau modal yang disebut sebagai keunggulan statis.
Dalam pelaksanaan strategi promosi ekspor, Indonesia sebagai negara berkembang
memiliki keunggulan statis berupa tenaga kerja, sementara negara-negara
maju sebagai penyedia teknologi memiliki keunggulan dinamis berupa teknologi.
Untuk menampung masuknya perusahaan-perusahaan manca negara yang
akan mengekspor barang-barang yang sudah dirakit, negara-negara berkembang
membuka kawasan perdagangan bebas (free trade zones) atau kawasan proses
ekspor (export procesing zones). Dalam prakteknya penerimaan yang dihasilkan
oleh perusahaan-perusahaan ekspor hanya berupa nilai ekivalen pembayaran
terhadap pekerja-pekerja lokal dan pembelian-pembelian lokal oleh perusahaan
tersebut, karena ekspor yang dilakukan sebetulnya merupakan subcontracting
export dari perusahaan luar negeri kepada afiliasinya di negara-negara lain.
Dengan demikian manfaat nilai ekspor yang dinikmati oleh negara-negara tersebut
sangat kecil (Arief, 1990).
90
Meskipun penciptaan tenaga kerja secara langsung cukup besar karena
operasi perusahaan bersifat padat karya tetapi penggunaan input lokal secara
umum tidak berarti, sehingga keterkaitan dengan ekonomi lokal sangat kecil.
Satu-satunya manfaat yang cukup nyata terhadap perekonomian lokal adalah
pembayaran upah terhadap pekerja-pekerja lokal, namun untuk setiap pekerja
pembayaran tersebut relatif rendah karena sebagian besar tenaga kerja terdiri dari
pekerja-pekerja wanita yang dalam soal upah umumnya mengalami diskriminasi.
Oleh karena syarat utama pelaksanaan operasi perusahaan promosi ekspor
adalah upah buruh yang rendah, maka tidak akan ada kenaikan upah riil buruh
industri karena akan mempertinggi biaya produksi sehingga mengurangi daya
saing barang-barang industri yang diekspor. Oleh karena itu insentif bagi perusahaan
ekspor pada dasarnya menimbulkan proses redistribusi pendapatan yang
menguntungkan bagi kelompok pemodal, seperti halnya pada industri substitusi
impor.
Kebijakan penerapan strategi industrialisasi promosi ekspor yang diambil
oleh pemerintah Indonesia ternyata belum berpihak pada pengembangan sektor
pertanian dan industri pengolahannya secara lebih serius. Pemerintah masih cenderung
mengadopsi kombinasi broad based industry dan hi-tech industry seperti
pengembangan industri rekayasa berat, pabrikasi baja, industri kimia dan farmasi,
serta industri alat transportasi.
3.3. Strategi Agricultural-Demand-Led Industrialization
Baik strategi industrialisasi substitusi impor maupun strategi industrialisasi
promosi ekspor dipandang tidak berhasil digunakan sebagai pendekatan pembangunan
di negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini didasarkan pada
91
dua faktor, yaitu: (1) kedua proses industrialisasi tersebut tidak terintegrasi
dengan sektor pertanian yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat,
dan (2) kedua strategi tersebut menghasilkan redistribusi pendapatan
yang cenderung menguntungkan pemilik modal. Atas dasar kedua hal inilah
maka strategi industrialisasi yang sesuai untuk diterapkan di negara-negara
berkembang haruslah industrialisasi yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan
masyarakat luas dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas serta memberikan
efek positif terhadap kesejahteraan masyarakat luas. Mengingat sebagian besar
masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang berada di sektor pertanian,
maka strategi industrialisasi yang sesuai adalah strategi yang menitikberatkan
program pembanguan di sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai
penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain. Strategi tersebut
dinamakan strategi AgriculturalDemand-Led Industrialization (ADLI Strategy).
Startegi industrialisasi ADLI merupakan program investasi masyarakat
untuk mendorong kurva suplai produk pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan
dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga
sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri
melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermediate demand)
dengan permintaan akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui
strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas
teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang akan
menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun
juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan
pangan dan pemerataan pendapatan. Dengan demikian, jelas bahwa
92
strategi ADLI merupakan strategi industrialisasi yang akan dapat mendukung pengembangan
sektor agroindustri.
Paradigma baru pembangunan pertanian menempatkan strategi Agricultural
Demand-Led Industrialization (ADLI) sebagai strategi industrialisasi yang
menitikberatkan program pembangunan di sektor pertanian dan menjadikan sektor
pertanian sebagai penggerak pembangunan sektor industri dan sektor-sektor lain
(Adelman, 1984; de-Janvry, 1984). Strategi ini berperan penting dalam meningkatkan
produktivitas pertanian melalui peningkatan investasi dan inovasi teknologi,
serta meningkatkan pendapatan masyarakat di perdesaan. Mengacu pada
teori keterkaitan dimana keterkaitan ke belakang merangsang investasi pada
industri yang mensuplai input dan keterkaitan ke depan mendorong investasi
untuk tahapan produksi lebih lanjut, peningkatan produktivitas pertanian melalui
keterkaitan ke belakang akan menstimulus permintaan input pertanian (pupuk,
pestisida dan benih unggul) dan barang-barang kapital (jaringan irigasi, mesin
pertanian, transportasi dan infrastruktur lain) serta meningkatkan permintaan
tenaga kerja.
Peningkatan kesempatan kerja bukan hanya di sektor pertanian, tetapi juga
akan menciptakan kesempatan kerja non pertanian maupun jasa. Melalui keterkaitan
ke depan, investasi di sektor pertanian tersebut akan menstimulus investasi
di sektor industri pengolahan hasil pertanian dan industri non pertanian lain serta
jasa. Di sisi lain peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan
rumah tangga yang pada akhirnya menstimulus peningkatan konsumsi
pangan, baik bahan pangan primer maupun olahan serta konsumsi non pertanian
lain.
93
Di negara-negara yang sedang berkembang, konsumsi domestik merupakan
faktor utama pertumbuhan ekonomi, dan mengingat sebagian besar penduduk
tinggal dan bekerja di sektor pertanian dan menggantungkan hidup mereka di
sektor pertanian, maka strategi ADLI merupakan strategi pembangunan pertanian
yang memanfaatkan kekuatan permintaan rumah tangga perdesaan dalam rangka
meningkatkan barang industri dan jasa yang padat tenaga kerja. Dalam hal ini
sektor agroindustri atau industri pengolahan yang berbasis pertanian serta sektor
pertanian primer merupakan sektor andalan pembangunan pertanian melalui
strategi ADLI.
3.4. Dampak Peningkatan Produktivitas
Produktivitas merupakan rasio dari output yang diproduksi per unit sumberdaya
(input) yang digunakan. Tingkat produktivitas berarti sejumlah output
dari sumberdaya yang digunakan, dengan pilihan sejumah tenaga kerja, material
dan beberapa kombinasi sumberdaya yang mungkin. Produktivitas mengukur
kemungkinan variasi yang menyangkut kedua aspek baik output maupun input
yang digunakan, sehingga dimungkinkan adanya produktivitas tenaga kerja,
produktivitas kapital dan lain-lain (Sudarsono, 1995).
Menurut Nicholson (1994), produktivitas dinyatakan sebagai sebuah
ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output
terhadap input. Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin
tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja. Produktivitas
mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat
output tertentu pada periode waktu tertentu.
94
Peningkatan produktivitas dapat ditempuh antara lain melalui perubahan
teknologi (technological change). Perubahan teknologi mencakup seluruh perubahan
teknik produksi yang ada. Pada model keseimbangan umum statis, teknologi
diasumsikan konstan, sehingga dampak perubahan teknologi produksi
terhadap kinerja perekonomian tidak terlihat. Sedangkan pada model keseimbangan
umum dinamis, perubahan teknologi memainkan peran penting, dengan
kata lain teknologi tidak lagi diasumsikan konstan. Pada model keseimbangan
umum dinamis perubahan teknologi per sektor harus dimasukkan ke dalam model
dengan cara memasukkan parameter baru yaitu parameter technological change
augment yang kemudian dijadikan sebagai variabel eksogen. Dalam pemodelan,
dengan adanya perubahan teknologi, maka rasio kapital/tenaga kerja diasumsikan
konstan, demikian juga halnya dengan rasio upah/suku bunga yang juga diasumsikan
konstan (Hicksian neutral technology). Dengan asumsi tersebut setiap ada
pertumbuhan di sektor-sektor produksi hanya disebabkan oleh adanya perubahan
teknologi, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 16.
Untuk mengimplementasikan asumsi terjadi peningkatan teknologi per
tahun, digunakan nilai tertentu dari produktivitas faktor total (total factor productivity=
TFP). Dengan kata lain, perubahan teknologi yang terjadi pada suatu sektor
diukur dengan kenaikan produktivitas pada sektor tersebut. Adapun fungsi produksi
tenaga kerja dapat dituliskan sebagai berikut:
i v
i i fi Q A F
r
r d
−1/





= …………………………………………….....(3.7)
di mana A menunjukkan parameter perubahan teknologi dari input yang digunakan.
Dengan asumsi tingkat pengembalian konstan (constant return to scale) dan
95
fungsi produksi homogen berderajat satu, maka pengalian input yang digunakan
dengan konstanta A akan menghasilkan tambahan output sebesar A.
Labour
Capital
Labour-saving
Neutral
(K/L)0
A Capital-saving
B
B2
B1
I1
I2
-PL/PK=constant
Gambar 16. Garis Perubahan Teknologi
Sumber: Sadoulet dan de Janvry (1995).
3.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
Tujuan akhir yang ingin dicapai dalam pembangunan ekonomi nasional
adalah meningkatkan pendapatan masyarakat. Mengingat sebagian besar masyarakat
Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang mayoritas menggantungkan hidupnya
dari sektor pertanian, maka perlu diupayakan agar pertanian menjadi
sektor yang menguntungkan (profitable) untuk diusahakan oleh petani. Salah satu
langkah yang bisa ditempuh untuk tujuan ini adalah dengan menjamin tersedianya
pasar bagi komoditas pertanian, sehingga petani akan memperoleh harga jual yang
layak dari komoditas pertanian yang dihasilkan.
96
Salah satu pasar yang potensial bagi komoditas pertanian adalah industri
pengolahan hasil pertanian (agroindustri), selain rumah tangga domestik untuk
konsumsi langsung dan konsumen di luar negeri (ekspor). Komoditas pertanian
merupakan bahan baku utama sektor agroindustri, yang bersama-sama dengan
input lain (tenaga kerja dan modal) dalam suatu proses produksi pada suatu
agroindustri akan menghasilkan produk agroindustri, dimana produk tersebut
dapat dijual di pasar domestik atau diekspor ke luar negeri (Gambar 17).
Pengembangan agroindustri dapat ditempuh melalui dua sisi, yaitu sisi
supply dan sisi demand. Dari sisi supply, pengembangan agroindustri dapat dilakukan
dengan peningkatan produktivitas sektor agroindustri dan peningkatan upah
riil tenaga kerja, sedangkan dari sisi demand dapat dilakukan dengan peningkatan
investasi di sektor agroindustri dan peningkatan ekspor produk agroindustri.
Dengan berkembangnya agroindustri berarti juga akan meningkatkan permintaan
komoditas pertanian sebagai bahan baku bagi agroindustri yang bersangkutan.
Peningkatan permintaan bahan baku akan memacu sektor pertanian
(usahatani) untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian dengan kuantitas
dan kualitas yang sesuai dengan permintaan agroindustri. Untuk tujuan ini diperlukan
peningkatan jumlah dan kualitas faktor produksi yang diperlukan untuk
proses produksi dalam usahatani (lahan, tenaga kerja dan modal), yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan pemilik faktor-faktor produksi yang
bersangkutan.
97
Gambar 17. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
97
98
Pemilik faktor produksi yang diperlukan oleh usahatani adalah rumah
tangga perdesaan. Peningkatan pendapatan pemilik faktor produksi ini sama halnya
dengan peningkatan pendapatan rumah tangga (masyarakat) perdesaan.
Berdasarkan klasifikasi SNSE tahun 2003, rumah tangga perdesaan dibedakan
atas petani, buruh tani dan rumah tangga non pertanian (meliputi rumah tangga
non pertanian pendapatan rendah, bukan angkatan kerja dan pendapatan tinggi).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan dilakukan
pengembangan agroindustri (industrialisasi pertanian), secara tidak langsung akan
berdampak terhadap peningkatan kinerja sektor pertanian dan peningkatan pendapatan
masyarakat perdesaan. Peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan
diharapkan akan mampu menanggulangi kemiskinan perdesaan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa industrialisasi pertanian dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif untuk menanggulangi kemiskinan perdesaan.